Header Ads Widget

Belajar Terus Seterusnya Pembelajar

Pahlawan Literasi: Belajar dari Ahli

“Di mana dia, Mak?!”

Suara teriakanku memecah pagi. Selanjutnya terdengar langkah kaki berjalan cepat menuju ke arahku.

“Bapak cari apa, sih? Masih pagi juga,” sungut Mamak Opin sambil menyandarkan sapu ijuk di tiang teras rumah.

“Koran hari ini, Mak,” kataku sambil membongkar-bongkar tumpukan kertas berukuran besar di atas meja teras. Mamak Opin terlihat sibuk membantuku. Dia mulai merapikan kertas besar penuh tulisan yang terserak. Cukup lama aku dan Mamak Opin terdiam dalam kesibukan. Kebisuan pecah ketika sepasang telingaku mendengar sebuah suara.

“Bapak sama Mamak lagi cari apa?”

Aku dan Mamak Opin menghentikan usaha membongkar dan merapikan kembali tumpukan kertas yang sebagian sudutnya terlipat. Kami lebih memilih menatap Opin yang baru saja keluar dari dalam rumah.

“Ini, Mas. Bapak lagi cari itu,” kata Mamak Opin menunjuk tumpukan kertas cetak kemudian melangkah menuju anak laki-laki itu.

Opin terlihat menggerakkan tangannya kemudian berkata, “Ini yang Bapak cari?”

Aku menatap Opin untuk beberapa saat kemudian bergegas meraih lembaran dengan tulisan cetak yang disodorkan Opin. Dengan cepat aku membolak-balik halamannya. Pada satu halaman aku menajamkan penglihatan. Aku berkali-kali menggerak-gerakkan kepala. Sepasang mataku liar mencari sebuah kolom. Aku kembali membolak-balikkan kertas bertinta hitam putih itu. Namun, aku tidak menemukannya.

“Mana dia, Mas?” Aku bertanya pada Opin dengan nada tidak sabar.

Opin tertawa kecil kemudian berlatih tanpa menjawab pertanyaanku. Demi menyadari dia menghilang di pintu rumah, aku pun menekankan kaki kanan ke lantai. Tak lama kemudian aku berhasil menemui Opin di ruang kerjaku.

Di depan komputer Opin menunjuk sebuah foto. Mataku mengikuti arah gerakan tangannya. Sambil tersenyum, Opin membuka tutup printer dan mengambil lembaran besar yang terlipat itu. Tangan kanannya maju dan memindahkan lembaran itu ke tanganku.

“Maafkan Opin, Bapak. Awalnya Opin cuma iseng baca-baca nunggu teman jemput main. Ternyata ada nama Bapak di sana. Opin ambil lalu scan, deh,” kata Opin memberikan penjelasan.

Aku tertawa sambil mengacak-acak rambutnya. Ada yang pecah di dadaku terlebih saat melihat gambar yang ada di layar komputer. Demi melihat aku terdiam, Opin menggoncang tanganku.

“Bapak kenapa?”

“He he he. Tidak sia-sia Bapak belajar, Mas,” jawabku menggerakkan tetikus.

Opin selanjutnya berkata, “Memangnya Bapak belajar di mana?”

Aku pun menjelaskan bahwa ilmu yang kuperoleh menulis berasal dari narasumber hebat. Narasumber itu bernama Nur Aliem Halvaima, S.H.,M.H. yang biasa menggunakan nama pena Nur Terbit.

“Beliau ini wartawan senior, Mas. Sejak masih kuliah, Pak Nur sudah menjadi wartawan. Tahun 1984 beliau hijrah ke Jakarta. Pada tahun 2014 koran tempat beliau bekerja ‘dijual’. Akhirnya beliau pun pensiun dini. Namun demikian beliau tetap menulis dan jadi redaktur pos sore dot com sampai saat ini,” jelasku membuka penjelasan.

Opin terlihat tersenyum. Senyum yang menandakan ketertarikan.

“Terus terus?”

“Beliau ini pengalamannya luar biasa banget, Mas. Bertahun-tahun menjadi wartawan sekaligus editor harian Pos Kota. Kemudian … Ngg … Apa lagi, ya? Oya, beliau juga pemimpin redaksi beberapa majalah online dan cetak, Mas. Sebut saja majalah Corong dan Telescope,” jelasku panjang lebar.

“Sampai saat ini beliau sudah banyak menerbitkan buku, Mas. Bukunya keren-keren, lho!” seruku kemudian menyebutkan beberapa judul buku, “ada buku beliau berjudul Lika-liku Kisah Wartawan, kemudian ada Wartawan Bangkotan. Ngg … Ada juga Mati Ketawa Ala Netizen, Mas.”

Aku melihat Opin mengerutkan kening. Dalam kerutannya ada banyak tanda tanya tersimpan.

“Bangkotan itu artinya apa, Bapak?”

Aku pun mengirimkan gelombang suara ke telinganya. Dengan hati-hati aku mengantarkan kata ‘sudah tua’ itu melalui saluran eustachius. Kemudian membiarkan saluran itu mengantarkan getaran suara dari gendang telinga menuju bagian tengahnya hingga bagian dalamnya.

Telinga bagian dalam Opin pun bekerja mengantarkan ke otaknya. Otaknya pun memerintahkan mulutnya untuk kembali bertanya.

“Memangnya bapak ini sudah tua, Bapak?” tanya Opin sambil kembali memainkan tetikus.

Aku kemudian berkata, “He he he. Coba Mas hitung, ya. Beliau lahir tanggal 10 Agustus 1960. Berarti umurnya berapa sekarang coba?”

Kerutan kembali terlihat di kening Opin. Dia pun mengambil pulpen dan kertas di atas meja. Tangannya terlihat terampil menulis angka 2020 dan 1960. Tidak lupa dia membubuhkan tanda kurang.

“Aha! Ketemu, Bapak. Berarti usia bapak itu sekarang enam puluh tahun, Bapak. Bener, kan?”

Aku tertawa sebelum akhirnya berkata, “Wah pintar kamu, Mas. Betul! Makanya dia menulis buku dengan judul Wartawan Bangkotan. Sesuai sama umur beliau. Ha ha ha.”

Opin meletakkan pulpen kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Demikian halnya dengan aku yang melakukan hal sama.

“Kira-kira isi bukunya apa, ya, Bapak?”

“Setahu Bapak, sih, tentang pengalaman beliau selama menjadi wartawan. Salah satunya memuat cerita tentang pengalaman beliau bersama mantan Menteri Tenaga Kerja terkait kisah cinta beliau dengan artis Desi Ratnasari, Mas. He he he.”

Opin menyahut ceritaku dengan berkata datar, “Opin tidak kenal, Bapak. Ha ha ha.”

“Makanya nanti cek di Google cari tahu. Oke?!”

Opin menganggukkan kepala. Setelahnya dia pun bertanya tentang isi buku lainnya karya Pak Nur yang berjudul Mati Ketawa Ala Netizen. Aku pun memancingnya dengan kata kunci ‘ketawa’. Dari kata tersebut Opin pun menemukan isi buku berupa kumpulan kisah lucu dan menghibur.

Opin terlihat mengalihkan pandangan ke arah gambar yang baru saja selesai dipindainya itu. Dia menunjuk ke arah namaku yang tertulis di bawah judulnya.

“Memang apa kata beliau sehingga akhirnya tulisan Bapak bisa terbit di koran?”

Aku menatap bola mata elang Opin. Sepasang mata itu terlihat sabar menunggu jawaban. Jawaban pun terlontar setelah sesaat sebelumnya aku menarik napas panjang.

“Materi yang paling Bapak ingat, sih, untuk bisa menulis harus banyak membaca,” jawabku sambil menunggu respons dari Opin.

Cukup lama aku menunggu Opin menangkap kemudian menerjemahkan penjelasan menjadi kalimat tanya. Dia menggaruk-garuk kepalanya. Sejenak kemudian dia memutar-mutar roda tetikus dengan ujung telunjuknya. Layar pun bergeser ke bawah. Sesaat kemudian kembali bergerak ke atas. Telunjuknya benar-benar berhenti ketika dia membuka suara.

“Memang kenapa harus membaca, Bapak?”

Aku tersenyum kemudian menjawab, “Menurut Pak Nur, dengan membaca akan memperkaya perbendaharaan kata. Kita juga bisa sekaligus belajar ejaan yang benar serta penulisan yang tepat. Selain itu dengan banyak membaca akan menambah wawasan dan pengetahuan, Mas. Ilmu-ilmu baru seperti format menulis dan menyusun paragraf akan kita dapatkan. Dengan begitu kita akan lebih mudah menulis,” kataku sambil meminta Opin mematikan komputer.

Ruang kerjaku pun mendadak hening setelahnya. Yang tersisa hanya detak jarum jam dinding mendetik waktu.

“Masak itu saja, Bapak?”

Aku pun menjawab, “Masih banyak yang lain, Mas. Beliau juga memberikan lima ‘kunci’ dalam menulis. Apa sajakah itu? Yang pertama, tiga D. Dialami sendiri, Disukai, dan Dikuasai. Dialami sendiri akan membuat lebih mengena di hati pembaca. Disukai artinya menulis yang memang disukai. Misalnya tentang hobi. Kalau menulis yang disukai akan lebih dapat rasanya, Mas. Terakhir adalah Dikuasai. Tentu ini akan membuat menulis menjadi lebih mudah,” jelasku panjang lebar.

“Kunci kedua adalah PdLS. Maksudnya adalah Peka dengan Lingkungan Sekitar alias Kepo. Kepo itu kadang perlu, Mas. Setidaknya kita bisa tahu apa yang terjadi di sekitar kita. Itu bagus sebagai modal kita menulis,” lanjutku.

“Ketiga adalah TBTO. Artinya adalah Terus Belajar atau Baca Tulisan Orang. Nah kalau ini tadi sudah Bapak jelaskan, ya. Masih ingat, kan?” tanyaku.

Opin menganggukkan kepala dan berkata, “Yang keempat apa, Bapak?”

“Keempat adalah TLMM atau Terus Latihan Menulis di Media. Bisa apa saja, Mas. Bisa media sosial berupa blog. Atau bisa juga di MS Word. Bahkan bisa juga ditulis tangan,” jelasku kemudian.

“Terakhir adalah TILM atau Terus Ikut Lomba Menulis. Ini akan mengasah kemampuan sekaligus mengetahui kualitas tulisan kita, Mas. Intinya sering ikut lomba akan meningkatkan kualitas tulisan kita. Begitu, Mas,” pungkasku.

Opin pun sepertinya sudah paham dengan apa yang aku sampaikan. Ruang kerjaku perlahan senyap. Tidak ada lagi suara. Yang tertinggal hanya bunyi langkah beriringan.

“Selain itu dengan banyak membaca kita akan tahu gaya penulisan orang. Dengan begitu kita akan bisa belajar menemukan gaya penulisan kita sendiri. Begitu ceritanya, Mas,” jelasku lagi memberikan penguatan sambil mengajaknya berjalan ke arah dapur.

Opin terlihat bersemangat mendengarkan penjelasan demi penjelasan. Sesekali dia terlihat meloncat-loncat kecil sambil berjalan.

“Seru, Bapak! Boleh Opin jadi wartawan besok, Bapak? He he.”

Aku pun mengangguk menyatakan persetujuan sambil berkata, “Jika memang Mas suka dengan profesi itu, ya, Bapak sama Mamak hanya bisa mendukung.”

Dan, pada akhirnya obrolan pun usai dengan gurat bahagia di masing-masing hati. Opin dengan ilmu barunya. Sedangkan aku bahagia sebab bisa menumbuhkan minat di dada anak berusia hampir 12 tahun itu untuk menjadi pahlawan literasi.

Posting Komentar

0 Komentar