Header Ads Widget

Belajar Terus Seterusnya Pembelajar

Pahlawan Literasi: Belajar dari Berbagi

“Berhenti sudah! Tidak ada gunanya!”

Demi mendengar suara perempuan itu, aku bergegas berdiri. Langkahku cepat menuju ke halaman belakang ruang kerjaku. Di belakangku, layar komputer masih berpendar. Gelombang cahaya beradu dengan binar lampu ruang kerja. Tanpa memedulikannya lagi, aku terus melangkah.

Aku berhenti saat menjejak lantai teras belakang. Mataku bergerak cepat memindai setiap titik yang terbias cahaya. Pandanganku terpaku pada sesosok perempuan yang sedang mencuci tangan di keran air sudut halaman.

Aku berkata lirih, “Bukan! Aku yakin tadi itu bukan suara Mamak Opin. Tadi itu seperti suara si ….”

Aku belum selesai berkata ketika tiba-tiba perempuan bermata hangat itu bertanya padaku, “Bapak kenapa berdiri saja di situ?”

“Ngg … Bapak tidak kenapa-napa, kok, Mak. Mamak lagi apa malam-malam begini di belakang?” tanyaku ketika perempuan itu telah berdiri di hadapanku.

Mamak Opin pun menceritakan bahwa dia baru selesai membersihkan minyak telon yang tumpah. Sekaligus membuang sampah di tempat sampah belakang rumah, katanya. Dan, setelahnya Mamak Opin pun pamit kembali ke kamar. Aku pun terbiar sendiri menatap sepi. Embun sepertinya mulai mencumbu dedaunan. Pendar cahaya lampu halaman belakang terlihat tak lagi begitu terang. Kabut tipis mulai menari-nari di sekitarnya. Sementara aku tanpa sadar membiarkan bulu kudukku meremang.

Aku bergegas kembali ke ruang kerjaku. Di depan komputer, aku kembali berusaha menemukan pemilik suara. Akhirnya aku menyadari itu adalah suara simbok. Suara simbok yang berasal dari ingatan masa lalu. Masa ketika aku memilih menulis lirik lagu dibanding segera merapikan buku-buku bacaan dan majalah anak yang berserak di ruang tamu.

Sebuah rentetan kejadian pun menjelma bioskop mini di kepalaku. Film masa lalu berhenti berputar ketika seorang perempuan mengambil paksa buku tulisku. Buku tulis yang penuh catatan lagu-lagu terbaru itu pun akhirnya benar-benar berpindah tangan. Aku tidak berusaha merebutnya. Meskipun masih duduk di Sekolah Dasar, tetapi aku sudah bisa berpikir kalau akan bisa menulisnya lagi. Namun, ternyata keesokan harinya simbok mendatangiku. Dia memberikan kembali buku tulisku.

Dengan tersenyum dia berkata, “Maafkan simbok, ya, Le. Tidak apa-apa kamu terus menulis lirik lagu di buku asal tidak lupa sama tugasmu.”

Aku kecil menganggukkan kepala. Anggukan pelan yang berujung pada pelukan hangat. Pelukan hangat yang tidak pernah aku lupakan hingga saat ini.

Mengingat segala yang terjadi waktu itu, membuat ada yang pecah di rongga dadaku. Perlahan merambat hingga pelupuk mata. Air yang mengandung hormon berbasis protein itu pun akhirnya tumpah. Sesaat setelahnya air yang hadir dari lakrimasi karena tekanan emosi yang kuat itu pun mengantarkanku kembali menemukan jalan keluar dari labirin ingatan.

“Ah simbok! Sehat-sehat di kampung, ya, Mbok,” doaku dalam hati sambil mengusap sudut mata dengan punggung tangan.

Dan, malam itu senyum wajah simbok menjadi teman menulisku. Banyak hal kutuliskan untuk mengikuti lomba menulis dengan tema pahlawan. Namun, belum selesai aku menuliskannya, pertahanan hatiku melewati batas kekuatannya. Ketabahan atas kerinduan yang berusaha kutahan pun seketika menjelma air bah.

Aku pun menyembunyikan dengan menelungkupkan badan. Entah sudah berapa volume air mata tertumpah di papan ketik. Tumpahan itu belum mampu meredakan rindu pada sosok pahlawan hidupku, simbok.

Butuh waktu cukup lama bagiku untuk menenggelamkan ingatan dalam tulisan. Tulisan itu hampir berada di penghujungnya. Belum sempat aku menuntaskan rindu pada simbok lewat tulisan, terdengar pintu didobrak dari arah luar.

Secara refleks aku menoleh ke arah pintu yang telah terbuka. Di tengah pintu berdiri sosok lelaki kecil berusia 12 tahun. Aku mengenalinya sebagai Opin, anak semata wayangku. Kehadirannya membuatku bertanya-tanya.

“Kenapa, Mas? Kok tumben tidak mengucapkan salam, sih?” tanyaku sambil berjalan menuju anak laki-laki yang mematung di hadapanku.

Dan, sesaat setelahnya dengan sekali sentuh, patung bernyawa itu jatuh ke dalam pelukan. Aku pun berusaha menegakkan tubuhnya. Namun, usaha yang kulakukan sepertinya sia-sia. Tubuhnya lemah seolah tak bertenaga. Beruntung dia akhirnya menemukan kekuatannya setelah aku membantunya duduk di kursi sebelahku.

Di kursi itu, dia menemukan kembali dirinya seutuhnya. Hingga akhirnya dia bercerita kenapa tiba-tiba terbangun oleh mimpi. Mimpi tentang simbok, neneknya yang memintanya pulang ke kampung halaman.

“Mas kangen sama mbah uti, ya?” tanyaku menyebut nama panggilan neneknya berusaha meyakinkan bahwa aku tidak sekadar menduga-duga.

Opin pun menganggukkan kepala sebagai jawaban bahwa dia sedang memendam rindu dengan neneknya. Aku meraih pundaknya sekadar menguatkan. Saling menguatkan, tepatnya.

“Doakan saja mbah uti-nya, Mas. Bapak juga sedang kangen sama mbah uti. Tadi sudah mendoakan juga. Insyaallah kita segera menemuinya kalau keadaan sudah membaik, ya, Mas,” kataku sambil merebahkan kepalanya di dadaku yang tak lagi sekuat dulu.

Hingga akhirnya perbincangan pun berlanjut pada banyak hal. Salah satunya adalah apa yang sedang kutuliskan.

“Bapak menulis apa?”

Aku menjawab cukup panjang bahwa aku sedang menulis sosok pahlawan dalam hidupku. Sosok itu adalah neneknya.

“Begitulah, Mas. Bapak tidak tahu jika seandainya waktu itu mbah uti tidak mengembalikan buku tulis Bapak. Mungkin Bapak tidak akan pernah bisa seperti sekarang,” kataku sambil membiarkan dia menjauhkan kepalanya dari dadaku.

Anak laki-laki itu lantas menegakkan duduknya. Dia berusaha menyejajarkan matanya dengan deretan kalimat yang aku tulis.

“Bapak kenapa menulis tentang pahlawan?” tanya Opin sambil menyelami mataku.

Aku tersenyum lantas menjawab, “Kebetulan Bapak lagi tidak tahu mau menulis apa. Terus ada informasi lomba ini. Jadinya Bapak ikut karena sudah ada ide. He he.”

Opin pun lanjut bertanya, “Bapak kenapa suka sekali ikut lomba? Memang pernah menang? Ha ha ha.”

Aku meninju pelan lengan kecilnya. Aku mencoba tersenyum meskipun tahu itu hanya menyembunyikan gurat luka tersebab kekalahan dalam lomba.

“Mas … Kalau menang, ya, sering, Mas. Tapi kalahnya lebih sering lagi, sih. Ha ha ha,” jawabku ringan sambil tertawa lepas.

Aku dan Opin pun larut dalam tawa lepas tengah malam itu. Seolah kekalahan bukan lagi hal yang harus ditakutkan.

“Mas … Bagi Bapak lomba itu bukan perkara menang atau kalah. Tetapi tentang bagaimana bisa mengalahkan kemalasan diri-sendiri untuk menulis. Kebetulan, kan, setiap lomba ada tema. Jadi tidak perlu capek lagi mikir mau menulis apa. He he he,” jawabku panjang lebar.

“He he he. Tema yang seperti bagaimana, sih, maksudnya, Bapak?”

Aku pun menjelaskan padanya tentang banyaknya tema yang diangkat dalam lomba. Sepanjang penjelasan Opin terlihat mengangguk-anggukkan kepala.

“Terus apa lagi yang bisa dilakukan agar tetap ada ide, Bapak?”

Aku menatap ke kedalaman matanya. Di dasarnya aku menemukan sebuah bongkahan yang sangat berharga. Aku mengenalinya sebagai kesungguhan belajar.

“Ada tipsnya, Mas. Dari narasumber kelas menulis yang Bapak ikuti yaitu Ibu Ditta Widya Utami. Bahwa jika sedang buntu, selain ikut banyak lomba menulis juga aktif dalam komunitas literasi,” jawabku.

“Seperti apa misalnya itu, Bapak?” tanya Opin sambil meraih sebuah buku yang berjejer di samping komputerku.

Aku pun kembali membuka suara. Pada setiap gelombang longitudinal yang dihasilkannya, aku mengirimkan rangsang hingga gendang telinganya. Lalu membiarkan otaknya bekerja mengolah sendiri menjadi pertanyaan-pertanyaan baru.

“Misalnya, seperti Taman Baca kompleks yang Bapak kelola itu, lo, Mas. Mas, kan, suka ke sana buat baca buku, tuh. Nah pas berkumpul itu kita bisa ngobrol apa saja. Jadinya ada saja ide untuk dituliskan,” jawabku sambil memainkan papan ketik.

“Ooo … Jadi begitu, ya, Bapak. Terus apa lagi tipsnya Bu Dita itu, Bapak?”

Aku melepaskan kemari dari papan ketik. Sesaat setelahnya terdengar ‘krek’ tulang-tulang jariku. Penjelasan pun kembali menembus batas lelahku. Kebahagiaan atas pertanyaan rasanya lebih berharga dari lelah seharian.

“Menurut guru IPA kelahiran Subang tanggal 23 Mei 1990 ini, tips yang bisa dilakukan agar tetap ada ide adalah mengikuti kelas menulis. Seperti Bapak sekarang ini, Mas,” jawabku kemudian.

Opin pun langsung menyahut, “Ide apa saja memangnya, Bapak?”

Perlahan aku benar-benar meninggalkan kegiatan menerjemahkan isi kepala menjadi kata-kata. Toh tenggat masih lama, pikirku.

Aku memilih berbagi kepada Opin tentang ide yang aku dapatkan dari kelas menulis. Ide-ide sederhana seperti tentang komentar di blog aku ceritakan. Tidak lupa perihal aturan penulisan sesuai pedoman.

Mendengar penjelasanku, Opin terlihat menarik kedua ujung bibirnya ke arah berbeda. Namun, binar matanya masih menyimpan tanda tanya.

“Mau tanya apa lagi, Mas?”

“Oya, Bapak. Selain yang tadi itu, apa ada tips yang lain lagi?”

Kali ini otakku memerintah tubuhku untuk menyandarkan diri di sandaran kursi kayu. Setelahnya otakku berusaha menghimpun banyak informasi untuk dibagi.

Perlahan tetapi pasti, aku pun menitipkan sederet tips dari penulis buku antologi ‘Lelaki di Ladang Tebu’ itu pada gelombang suara dari mulutku. Yang kutitipkan kepada lobus temporal di otak besar Opin menyangkut tips untuk menulis aktivitas sehari-hari. Aku juga menambahkan penjelasan tentang aktivitas yang meliputi kegiatan selama di rumah, saat dia bermain, saat dia belajar, dan segala sesuatu yang dekat dengan kehidupannya.

Sementara Opin menganggukkan kepala, aku melanjutkan kata-kata. Kalimat demi kalimat terkait tips dari penulis buku ‘Menyongsong Era Baru’ kolaborasi dengan Profesor Richardus Eko Indrajit yang diterbitkan penerbit Andi itu untuk menulis hal yang disuka. Bisa apa saja. Bisa terkait gim, memasak, membaca atau apa saja.

Dan, penjelasan panjang itu pun berakhir saat Opin berkali-kali menguap.

“Bagaimana? Dari kejadian seharian ini, Mas mau menulis apa hayo? He he.”

“Opin mau menulis tentang mbah uti. Yeay!”

Dan, jawaban bocah itu mengantarkanku pada bisikan dalam hati, “Terima kasih, Mbok. Setidaknya dari menulis di buku tulis dulu, sekarang aku menjadi lebih tekun menulis.”

Dan, cairan hangat di sudut mata mewakili rasa. Gelora jumpa yang masih menunggu hingga semua reda. Selanjutnya biarlah waktu yang bersekutu dengan jarak untuk mempercepat temu. Temu dari sosok pahlawan yang mengajarkan bahwa belajar bisa dari mana saja, termasuk berbagi.

“Terima kasih, Mbok.”

- mo –

Posting Komentar

2 Komentar