Jam kosong. Tidak ada yang tidak suka. Semua menyukainya. Sangat menyukai lebih tepatnya. Namun, tidak denganku. Segala kesunyian mendadak sirna. Seluruh senyap hilang seketika. Gaduh. Riuh. Tak ada lagi yang memedulikanku. Tidak Indra. Pun Beje. Dua sahabat terbaik yang biasanya begitu perhatian padaku saat pelajaran berlangsung. Terlebih saat ujian. Akulah yang berjuang menemukan jawaban. Diam-diam tanpa pernah sekalipun ketahuan. Bukan saja jawaban, tetapi juga pulpen dan uang jajan.
Namun, hari ini berbeda. Sungguh berbeda. Aku sendirian. Sepi. Sunyi. Meringkuk di sudut belakang kelas. Mengutuk diri? Tidak! Sama sekali tidak! Aku hanya kecewa pada mereka berdua. Begitu mudahnya mereka melupakan semua jasa. Salahku apa? Hingga tega membiarkanku sendirian di sudut kelas. Sendirian tenggelam dalam kegaduhan tanpa bekas. Biadab kalian berdua! Aku tidak akan bisa memaafkan perlakuan kalian hari ini!
Sementara di depan kelas, Indra dan Beje terkesima menatap Yusni yang sedang berpuisi. Bait demi bait terurai sempurna. Sepenuh hati hingga melahirkan air mata. Itu adalah air mata dari puisi yang kutulis dulu. Waktu pertama masuk di kelas ini sebagai siswa abu-abu baru. Abu-abu yang akhirnya buram dan lusuh termakan takdir dan waktu.
Semakin lama tangis tak kunjung reda dalam kesima. Aku tak lagi berarti apa-apa bagi mereka. Aku mencoba berdiri sambil menyibakkan rambut panjangku yang tergerai. Beberapa helai rambutku terjatuh ke lantai.
“Bau apa ini?”
Kerumunan mulai merenggang demi menyadari ada bau seperti terbakar. Hingga akhirnya kerumunan menjelma tunggang langgang. Namun, tidak dengan Indra dan Beje.
“Ular! Ular! Ular!”
Gaduh kembali menyatu dengan riuh. Beberapa ekor ular tiba-tiba bergerak cepat dari arah belakang kelas mengejar teriakan. Sementara langkahku semakin tak utuh seolah enggan menyentuh. Indra dan Beje berusaha menahanku agar tidak terjatuh.
“Apa yang kamu lakukan, Ti?”
Indra bertanya sambil berusaha menangkap tubuhku. Tidak seperti biasanya. Kali ini sia-sia. Demikian juga halnya dengan Beje. Dia pun gagal melakukannya. Aku terus berusaha keras bisa menjauh. Gagal. Ular-ular berwarna hitam itu kian mendekatiku. Aku akhirnya menyerah pada desisan demi desisan.
“Cukup, Ti! Cukup!”
Kali ini Beje berteriak ke arahku. Tanpa memedulikan itu semua, aku menggerakkan rambut ke arah mereka berdua. Kibasan itu membuat beberapa helai rambutku beterbangan. Demikian juga dengan beberapa ekor ular berwarna hitam.
Belum sempat ular itu mengenai tubuh Indra dan Beje, tubuhku lebih dulu terkulai. Sekilas aku melihat Kepala Sekolah yang mendadak telah berdiri di pintu kelas. Sorot tajam lelaki bernama Pak D itu membuat tubuhku mendadak kaku. Demikian juga dengan ular-ular hitam yang perlahan memudar dan menghilang.
“Sudahlah, Ti. Ayo aku antar kamu pulang! Biarkan teman-teman bahagia dengan cara mereka. Sementara kamu, berbahagialah dengan jalanmu sendiri.”
Aku mendengar kelembutan dalam nada suara Pak D. Tidak berubah. Sama sekali tidak berubah. Tetap seperti itu dari dulu. Suara teduh yang akhirnya mampu menaklukkanku dan juga keluargaku.
Aku benar-benar sudah tidak berdaya. Terlebih saat mendengar dia akan menyelesaikan urusanku dengan laki-laki yang telah menabrakku dalam kecelakaan sepulang sekolah hingga patah kaki kiriku. Padahal sejatinya aku tahu siapa laki-laki itu. Indra dan Beje yang telah memberitahuku. Laki-laki itu adalah kamu. Iya, kamu. Kamu yang saat ini berdiri di hadapanku.
“Tunggu! Aku akan kembali untuk membuat perhitungan denganmu,” bisikku saat melewati tubuh Pak D.
Sementara Indra dan Beje masih bergeming di tempatnya. Kali ini mereka tidak menahan kepergianku. Mereka hanya melambaikan tangan. Perlahan aku pun menjauh sebelum akhirnya menghilang membawa dendam. Namun, sebelum aku benar-benar menghilang, sayup terdengar suara Indra dan Beje hampir bersamaan.
“Terima kasih telah menjadi temanku selama ini, Ti. Selamat tinggal, Kunti!”
***
0 Komentar