Header Ads Widget

Belajar Terus Seterusnya Pembelajar

#AprilChallengeLagerunal - Endap, Edit, Edar

Endap

Mungkin sebagian pembaca bertanya-tanya. Mengendapkan apa? Bisa jadi sebagian lagi bertanya, mengapa harus mengendapkan?

Sejatinya dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mengendapkan apa saja. Mengendapkan lara, misalnya. Ini penting agar apa yang telah melukai pada akhirnya menemukan kesembuhannya sendiri. Saat lara terendap, setidaknya kita bisa melakukan penilaian padanya. Melalui pengendapan kita juga memikirkan hendak memperbaiki bagian yang mana. Selain itu juga memutuskan memilih bagian yang benar-benar menguatkan kita.

Sama halnya seperti naskah buku. Sejatinya menerbitkannya tidak perlu terburu-buru. Terlebih naskah buku yang mengutamakan mutu. Membutuhkan tambahan waktu hingga benar-benar siap untuk menemani pembaca sepanjang waktu.

Mengendapkan naskah buku juga berlaku bagi naskah-naskah yang berakhir dengan penolakan oleh penerbit kenamaan. Beruntunglah penulis yang tidak pernah mengalami penolakan. Berarti memang Tuhan mempermudah semua jalan. Atau bisa juga ada yang tidak pernah mengalami penolakan karena memang tidak pernah berani mengajukan.

Lebih beruntung lagi sebenarnya yang pernah mengalami penolakan. Hal ini karena penolakan akan mengantarkan pada sebuah proses perbaikan. Untuk proses ini mengendapkan merupakan fase yang sangat menentukan. Dalam fase ini penulis menuntut dirinya untuk membiarkan naskah berada dalam folder penyimpanan.

Mendiamkan dalam jangka waktu tertentu adalah pilihan. Aktivitas ini memberikan waktu bagi naskah untuk menunggu perbaikan. Selain itu untuk menyegarkan otak kita setelah selesai menulis. Selama proses pengendapan sebaiknya membiarkan naskah tersebut benar-benar tidak tersentuh. Hingga tiba waktunya kita membaca ulang untuk mulai mengeditnya.

Edit

Setiap penulis pasti menginginkan tulisannya mampu menghadirkan sensasi membaca yang enak dan nyaman bagi pembacanya. Kecuali kalau memang tujuannya untuk diri sendiri, proses edit tulisan bisa dikesampingkan. Apa adanya, seadanya, ya, biarkan saja. Namun, jika tujuannya agar orang lain juga bisa membacanya, penulis wajib melakukan proses edit ini.

Mengapa harus mengedit tulisan? Mengedit apa saja pada tulisan? Dua pertanyaan yang terkait dengan proses edit. Kedua pertanyaan tersebut sebagian sudah terjawab di postingan #AprilChallengeLagerunal hari keempat. Namun sedikit menambahkan untuk tahap edit naskah membutuhkan keahlian khusus. Meskipun tidak semua orang mudah dalam melakukan proses mengedit, tetapi sejatinya setiap penulis bisa mengedit tulisannya sendiri.

Dalam proses mengedit naskah, kita juga mengenal istilah swasunting. Ada langkah-langkah penting swasunting yang bisa menjadi panduan. Dari langkah penting tersebut, ada pemahaman dasar yang sifatnya wajib bagi penulis. Pemahaman dasar tersebut meliputi ejaan dan penulisan (kata baku, tanda baca, dan lain-lain). Keduanya merupakan kunci untuk bisa melakukan edit lebih lanjut. Jika penulis bisa menguasai kemampuan dasar tersebut, ke depannya akan lebih mudah dalam meningkatkan kemampuan mengedit naskah.

Baca juga: 10 Langkah Penting Swasunting

Kebiasan mengedit naskah sendiri sesuai aturan akan membentuk pribadi penulis yang peka terhadap kesalahan penulisan. Kepekaan ini kita sendiri yang melahirkannya. Sekadar berbagi pengalaman, selama ini saya belajar penggunaan kata baku dari membaca apa saja yang saya suka. Dari membaca saya membiasakan diri mencatat kata-kata yang masih ‘asing’ bagi saya. Saya biasanya memunculkan pertanyaan, “Ini termasuk kata baku atau bukan, ya?” Dari pertanyaan itu akan membawa saya mencari jawaban di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dengan panduan dari KBBI maka sedikit demi sedikit saya menjadi tahu kata baku atau bukan.

Edar

Setelah melewati tahap pengendapan dan pengeditan, kita pun siap mengedarkan naskah kepada pembaca. Mengedarkan naskah bisa dalam bentuk postingan di blog pribadi atau menerbitkannya dalam bentuk buku. Bukan saja buku cetak fisik, melainkan juga buku digital.

Memang tidak salah panduan menulis yang mengajarkan kita untuk tidak takut salah. Hal terpenting adalah menulis dan membagikannya. Sisi positifnya kita akan terpacu untuk terbiasa menulis. Namun sisi negatifnya adalah kita kadang terlena dengan kata-kata motivasi tersebut. Akibatnya adalah kita enggan untuk berusaha memperbaiki tulisan. Hal ini disebabkan karena kita selalu berpegangan pada kalimat motivasi tersebut. Padahal, sebenarnya ini hanya berlaku pada saat mulai belajar menulis.

Bagi penulis yang sudah mulai terbiasa menulis sudah seharusnya juga sambil belajar memperbaiki kualitas tulisan. Kita boleh saja menertawakan tulisan pertama kita saat belum belajar apa-apa selain sekadar menulis. Namun, jangan sampai kita juga masih menertawakan kesalahan tulisan kita sendiri setelah satu tahun kemudian. Memang setiap kita memiliki perkembangan belajar yang berbeda-beda. Saya memahami itu. Satu tahun kemudian dari pertama kali belajar menulis bukanlah waktu yang baku. Kembali kepada masing-masing individu. Namun setidaknya siapkan target waktu bahwa saat naskah siap edar, tulisan kita tidak banyak mendapatkan masukan perbaikan.

Memang tidak ada larangan khusus mengedarkan tulisan, kecuali adanya batasan terkait kepatutan dan kepatuhan. Pilihan tetap ada pada masing-masing penulis, mengedarkan tulisan sekadarnya atau sekadar mengedarkan tulisan. Dua hal berbeda yang menunjukkan tingkat pengalaman dan kemauan belajar menulis. Mengedarkan tulisan sekadarnya merupakan tingkat awal untuk menumbuhkan motivasi mau menulis. Tingkat ini hanya menulis sekadarnya tanpa adanya usaha tambahan untuk menjadikannya lebih sempurna. Sedangkan sekadar mengedarkan tulisan merupakan tingkat lanjut. Dalam tingkat ini yang sekadar adalah proses mengedarkan dan bukan pada proses menghasilkan tulisan beserta belajar teknik menulis di dalamnya.

Tentukan pilihanmu sekarang!

Salam Bloger Pembelajar

Sudomo
www.eigendomo.com

Posting Komentar

0 Komentar