Header Ads Widget

Belajar Terus Seterusnya Pembelajar

Pentigraf - Potret Buram Ibukota

Seperti ini. Iya. Seperti ini kehidupanku di Jakarta. Tak ada kebahagiaan, selain kebersamaan bersama kakakku saat ini. Kebersamaan yang terbangun sejak setahun lalu. Waktu itu aku mengenalnya saat aku berjalan-jalan di depan mal. Dia mengajakku kenalan, lalu dia ingin tinggal sementara waktu di rumahku. Lebih mirip gubuk sih sebenarnya. Beratap seng dan berdinding papan yang penuh lubang. Kecil memang, tapi setidaknya ada tempat untukku berteduh sepulang mengamen. Kondisi komplek jauh dari kesan lengang. Bahkan, atap rumah pun bisa saling berjabat tangan. Tapi, tidak dengan penghuninya. Setiap hari selalu saja ada suara-suara sumpah serapah penghuni komplek. Saling maki adalah hal biasa. Bahkan, gara-gara setetes air saja mereka bisa ribut. Atau kadang juga karena hal sepele lainnya, seperti tidak sabar mengantre di kakus umum di atas sungai, misalnya. Mungkin karena kehidupan, mereka menjadi sekeras itu. Kecuali kakakku, setidaknya aku memanggil dan menganggapnya begitu, seorang gadis lembut yang cenderung pengalah. Dia bisa diam saja saat ada orang yang mengajaknya bertengkar. Biasanya aku yang berteriak membelanya.

Beberapa hari mengenalnya, aku tahu kebiasaannya. Dia sangat suka mengambil gambar aktivitas orang-orang di komplek. Termasuk, saat aku sedang menjerit keras karena seorang preman memukuliku. Dan, satu hasil foto yang sangat dia sukai adalah ekspresiku saat sedang berkumpul dan bermain-main dengan teman-temanku di depan rumah. Sebuah momen yang indah. Kejadian manis yang masih membekas sampai saat ini aku telah tinggal di rumah kakakku yang ternyata anak seorang fotografer terkenal. Kini, di rumah mewah ini aku bisa tinggal. Karena kebaikan hatinya juga, aku menempati sebuah ruangan dengan dinding depan terbuat dari kaca. Namun, rasanya aku tidak bahagia. Rasanya ingin berontak, tetapi aku tak sanggup. Mengingat semua itu, kurasakan ada yang meledak dalam dadaku. Aku hanya ingin berteriak. Saat kesempatan itu tiba, aku meluapkan semuanya.

Kulihat kakakku sedang sendirian di ruang tamu. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang mengganjal dalam dadaku. “Kak… Aku mau pulang. Aku enggak betah dengan keadaan ini. Tolong aku, Kak.” Kakakku tampak bingung mencari suaraku. Tak lama kemudian dia beranjak dari sofa, lalu berlari kencang ke arah kamar. “Aakkk! Papaa… Tolonggg!” Dia berlari sambil berteriak meninggalkanku. “Tunggu, Kak! Tunggu! Aku belum selesai ngomong!” Aku ikut berteriak dari dalam pigura berlapis kaca.

Posting Komentar

0 Komentar