Header Ads Widget

Belajar Terus Seterusnya Pembelajar

Maafkan Aku, Nak!

“Wah enak sekali kayaknya,” batinku.

Aku menatap takjub ke arah hidangan di atas meja. Sepiring pepaya serupa kumpulan dadu membangkitkan selera. Semangkuk sup ikan seolah hendak mengabarkan kenikmatan. Bukan saja perihal aroma. Melainkan juga tentang warna menggoda. Jauh berbeda dengan aku yang terlihat kusam. Beberapa bagian tubuhku terdapat bercak-bercak pertanda usia.

Aku yang renta hanya bisa mengagumi mereka. Sekali lagi, hanya mengagumi tanpa bisa menyentuhnya. Tak ada kekuatan dalam diri sebab usia. Pun dorongan dari luar yang menggerakkannya. Aku hanya bisa menyaksikan sedikit demi sedikit pelecing kangkung dilahap anak-anak muda itu. Tidak terkecuali sepasang ikan berbumbu yang akhirnya hanya meninggalkan belulangnya saja.

Bahagiakah aku? Tentu saja. Setidaknya aku bisa melindungi anak-anak muda yang asyik bercengkrama itu. Menghabiskan waktu bersama dalam canda. Canda yang diselingi dengan tegukan es kelapa muda. Kesegaran itu sangat aku rindukan.

Dulu. Iya, dulu. Jauh sebelum waktu memutuskan mengubahku, kesegaran itu adalah alasan gerak tubuhku. Kini setelah semua berubah, aku tak lagi bisa menjadikan kesegaran sebagai kenikmatan. Aku hanya bergerak jika ada yang membantu.

“Aduh!” teriakku lirih tak terdengar anak-anak itu ketika tubuhku menyenggol tepi berugak.

Bukan mauku untuk bergerak. Entah kenapa tiba-tiba angin menyapaku. Tubuhku hampir mengenai segelas es kelapa muda. Salah seorang di antara anak-anak muda itu berteriak.

“Awas!”

Tubuhku masih belum kembali ke posisi semula. Angin masih membuat tubuhku sedikit bergoyang. Kali ini tubuh rentaku hampir saja mengenai nasi di pinggir berugak. Keriuhan pun memenuhi berugak dari kayu itu. Satu per satu mereka bahu-membahu mengamankan makanan dan minuman. Aku akhirnya hanya bisa terdiam. Tanpa kuasa membantu mereka menjauhkan makanan dan minuman dari tubuhku.

“Hampir saja. Dasar tirai bambu sialan!”

Salah seorang dari anak muda itu terdengar mengumpat kasar. Aku tak kuasa mencegahnya.

“Maafkan aku, Nak. Itu bukan mauku, tapi angin yang tiba-tiba datang menggoyangkan tubuhku,” kataku dalam diam setelah angin berlalu.

Salam Bloger Pembelajar

Sudomo

Posting Komentar

0 Komentar