Header Ads Widget

Belajar Terus Seterusnya Pembelajar

Sepucuk Surat untuk Pak Guru di Masa Lalu

Assalamu’alaikum, Pak Guru.

Teriring doa semoga Pak Guru senantiasa diberkahi nikmat kesehatan dan kebahagiaan. Sama halnya dengan saya sekarang ini.

Saya tahu Pak Guru telah sekian tahun mengabdi, baik sebagai honorer maupun pegawai negeri. Saya ingat betul, Pak Guru mengabdikan ilmu lebih dari enam tahun sebagai guru honorer di beberapa sekolah swasta. Saat itu Pak Guru masih sangat muda. Bahkan hampir seusia dengan murid-murid yang Pak Guru ajar. Saya salut, di usia muda Pak Guru telah banyak memberikan manfaat kepada sesama. Bahkan tanpa pernah peduli berapa bayaran yang Pak Guru terima. Berapa pun itu, Pak Guru ikhlas menerima dan tidak pernah mengeluh.

Bahkan hingga Pak Guru lulus menjadi seorang pendidik lewat jalur umum dalam tes CPNS, 16 tahun lalu. Saya tahu Pak Guru tidak pernah menyangka akhirnya akan diterima, meskipun latar belakang pendidikan bukanlah dari jurusan pendidikan. Tidak salah memang karena waktu itu ada formasi untuk Pak Guru yang sarjana nonkependidikan, bukan? Pak Guru tetap optimis akan bisa menjalankan tugas dengan baik berbekal ijazah Akta IV Kependidikan. Kenyataannya memang seperti itu. Pak Guru tidak pernah lelah belajar menjadi guru yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Hingga masanya tiba, bulan April 2006 Pak Guru resmi menyandang gelar Pegawai Negeri Sipil. Tepat empat bulan setelah UU Nomor 14 tentang Guru dan Dosen diundangkan pada bulan Desember 2005. Bersamaan dengan itu, gelombang ujian datang. Pak Guru pasti masih ingat, bukan? Waktu itu Pak Guru berusaha melengkapi berkas untuk mendapatkan tunjangan profesi guru. Namun, sayang tersendat karena program studi tidak linier dengan mata pelajaran yang diampu. Padahal jelas-jelas mata pelajaran yang Pak Guru ampu sesuai dengan formasi yang dibutuhkan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat waktu itu.

Lantas apakah Pak Guru menyerah begitu saja. Tidak. Berbagai jalan telah Pak Guru tempuh meskipun pada akhirnya harus mengikhlaskannya. Pak Guru justru berusaha terus belajar meskipun tidak menyandang gelar sebagai guru profesional. Pak Guru tahu, guru profesional bukan sekadar linieritas dengan mata pelajaran. Namun, lebih pada bagaimana upaya yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Profesional bagi Pak Guru adalah perjuangan dan pengabdian, bukan sekadar tunjangan.

Pak Guru pernah berkata kepada saya, “Rezeki bukan saja perkara tunjangan. Teman-teman yang mendukung kemajuan adalah rezeki yang tak kalah membahagiakan.”

Saya sempat heran dan bertanya, “Tapi kalau itu, kan, tidak bisa pakai beli mobil, Pak Guru.”

Pak Guru hanya tersenyum. Seperti biasa jawaban lembut terlontar dari sepasang bibir Pak Guru. Jawaban yang membuat saya sadar, bahwa mengabdi tidak ada hubungannya dengan jumlah roda kendaraan pribadi. Pak Guru malah meyakinkan saya, bahwa pengabdian harus terus berjalan dengan atau tanpa kendaraan. Kendaraan yang utama adalah niat dan komitmen diri sendiri untuk berbenah agar bisa berubah. Sekali lagi, saya tunduk atas jawaban Pak Guru.

Bahkan pernah suatu hari saya pernah bertanya pada Pak Guru, dulu. Saya bertanya tentang keinginan Pak Guru untuk mutasi ke tingkat SMA agar bisa mendapatkan tunjangan profesi. Namun, Pak Guru bergeming. Pak Guru hanya menjawab pelan, “Masih banyak yang harus saya lakukan untuk sekolah ini.” Pak Guru saat itu juga mengatakan, akan siap dimutasi setelah sekolah tercinta ini bisa menerjemahkan mimpi.

Saya tahu itu tidak mudah, Pak Guru. Menurut saya akan lebih indah jika Pak Guru menyerah dan memutuskan segera pindah. Waktu itu, Pak Guru hanya tertawa renyah. Pak Guru bahkan menjelaskan kepada saya tentang tempat mengajar lain yang belum tentu bisa memberikan ruang luas untuk kolaborasi dan mengembangkan diri seperti sekolah ini. Saya pun hanya menggelengkan kepala dan bertanya dalam hati.

“Apa yang sebenarnya Pak Guru cari di sekolah ini?”

Sebuah pertanyaan yang mungkin Pak Guru sendiri bingung untuk menjawabnya. Pertanyaan singkat yang membutuhkan pemikiran panjang untuk menemukan jawabannya.

Pak Guru… Maafkan saya karena saat ini tidak bisa mengikuti jejakmu. Saya lebih banyak merenungi masa depan. Sampai saya lupa bahwa ada masa sekarang yang membutuhkan perhatian. Saya juga sempat terlupa untuk mewujudkan mimpi-mimpi di masa depan. Terlebih sekarang saya menjadi satu-satunya guru di sekolah yang bernasib sama seperti dirimu. Karenanya tolong Pak Guru, sisakan keikhlasan pengabdianmu untuk saya. Saat ini saya benar-benar membutuhkannya. Namun, percayalah Pak Guru. Saya berjanji akan terus menjaga kobar semangat perubahan yang Pak Guru tanamkan sejak dulu.

Terima kasih, Pak Guru. Atas ketabahan yang kauajarkan pada saya sejak dulu. Tentang keikhlasan mengabdi tanpa harus memikirkan timbal balik berupa pujian. Tentang ketabahan menjalani kehidupan dalam perbedaan. Perihal menjaga hati dari segala dengki lewat berpikir positif dalam segala keputusan. Terima kasih juga telah kuat di masa lalu, sehingga saya di masa sekarang menjadi lebih kuat lagi. Sekali lagi terima kasih untuk masa lalu yang mengajarkan pada saya arti tetap bertahan pada situasi tidak nyaman.

Pak Guru di masa lalu… Sekarang saat bagimu untuk tersenyum. Sedikit demi sedikit perubahan yang Pak Guru impikan mulai terwujud. Tetaplah menjadi Pak Guru yang kuat agar perubahan tetap berlanjut ke arah yang lebih baik. Tetaplah tersenyum meskipun tunjangan profesi guru masih hanya sebatas angan-angan. Namun, percayalah pada saya, Pak Guru di masa lalu. Kelak waktunya tiba, kabar bahagia tentang semua akan menjadi jawaban atas segala upaya dan karya.

Pak Guru… Terima kasih telah menjadi bagian masa lalu yang menguatkan. Tetap sehat dan bahagia, Pak Guru.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Lombok Barat, 18 November 2021

Hormat saya,

Dirimu di masa sekarang

Posting Komentar

0 Komentar