🧒: “Bapak liat ini!”
🧒: “Ini namanya kuda, Bapak.”
👨: “Kuda itu makannya apa sih, Mas?”
🧒: “Kuda itu makannya rumput.”
👨: “Bisa kuda makan ayam?”
🧒: “Ha ha ha. Lucu Bapak ini. Masak kuda makan ayam. Kuda itu makannya rumput. Ape Bapak ini.”
👨: “Kan Bapak ndak tahu, Mas. Makanya Bapak nanya. Sekarang gantian Bapak yang nanya boleh?”
🧒: “Boleh.”
👨: “K U?”
🧒: “Ku!”
👨: ” D A?”
🧒: “Da!”
👨: “KU sama DA jadi apa, Mas?”
🧒: “Dada!”
👨: “Ha ha ha. Masak KU sama DA jadi Dada, Mas. Cobak side liat mulut Bapak nih!”
Opin pun lalu melongo memperhatikan gerakan mulut bapaknya.
👨: “KUUU… sama DAAA… Jadi apa, Mas?”
🧒: “Kuda!”
👨: “Betul! Wah kamu hebat!”
Seseru itu, Ayah Hebat.
Awalnya saya hanya iseng saja. Menganggap dia menjawab pertanyaan suku kata itu sekenanya. Kadang saya juga berpikir dia menjawab ‘ngawak-ngawak’ saja dan sekadar ‘ketepakan’. Saya juga mengira itu hanya hafalan saja. Saya tidak memedulikan itu. Entah sebenarnya sudah paham atau belum, saya meyakinkan diri untuk tidak meremehkannya. Entah karena ‘ngawak-ngawak’, ‘ketepakan’ atau hafalan, saya menghargai sebagai sebuah pemahaman olehnya.
Saya menganggapnya sedikit banyak dia paham tentang suku kata terlepas dari ketiga faktor tadi. Kenapa? Karena dengan begitu saya akan lebih kreatif lagi mencari kata-kata untuk diperkenalkan per suku katanya kepadanya.
Seperti misalnya saat sebelum bermain bola, saya kembali mengajukan pertanyaan suku kata penyusun kata ‘bola’. Demikian seterusnya hingga akhirnya saya bingung sendiri dan berkata dalam hati, “Kata apa lagi, ya?”
Ternyata mencari kata-kata sederhana di sekitar anak itu butuh kreativitas dan kejelian, Ayah Hebat. Kadang saat dipikirkan, kata itu seolah menghilang begitu saja. Namun, saat sedang beraktivitas bersama justru kata-kata itu muncul dengan sendirinya.
Saya sendiri akhirnya mendapat pelajaran. Apa pelajaran yang bisa saya ambil?
“Menjadi orang tua itu juga harus kaya kosa kata”
0 Komentar